Sabtu, 11 Oktober 2014

Pola Hunian Masyarakat Praaksara

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat- Nya kami dapat menyelesaikan tugas Sejarah “Pola Hunian Masyarakat Praaksara” ini dengan baik.
    Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan dan untuk menambah wawasan bagi para pembacanya.
     Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1) Ibu Windriati, S. Pd. Selaku guru Sejarah yang telah membimbing kami dalam mengerjakan tugas ini.
2) Orangtua yang telah memberi semangat dan bantuan kepada kami dalam mengerjakan tugas ini.
    Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk lebih baik lagi dalam tugas kedepannya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.


Daftar Isi
KATA PENGANTAR
DAFTRAR ISI


BAB 1 PENDAHULUAN
            Latar Belakang
BAB 2 ISI
            Pola Hunian Masyarakat Praaksara
1.      Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana: Budaya Paleolithik
2.      Masa Beburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut: Budaya Mesolithik
3.      Masa Bercocok Tanam: Budaya Neolithik
4.      Masa Perundagian: Budaya Megalithik dan Budaya Logam

BAB 3 PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
(a) Kedekatan dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
(b) Kehidupan di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
     Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
     Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
     Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
     Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. KebudayaanAbris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
     Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
     Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur ,modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.
BAB 2
ISI
POLA HUNIAN MASYARAKAT PRAAKSARA

A.   Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana: Budaya Paleolithik

Sebagaimana diungkapkan The Cambridge Encyclopedia of Hunter Gatherers: berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) merupakan bentuk adaptasi pertama manusia yang paling sukses, serta mencakup 90 persen dari sejarah manusia. Sampai 12.000 tahun yang lalu, semua manusia hidup dengan cara ini.
     Makanan manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Itu karena pada masa ini, hewan dan tumbuh-tumbuhan telah hidup merata di bumi. Kala Pleistosen sampai Holosen merupakan masa puncak perkembangan hewan menyusu (mamalia). Maka, berburu hewan menjadi aktivitas pokok untuk bertahan hidup. Hewan-hewan yang diburu antara lain: rusa, kuda, babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan sebagainya.
     Karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup, kehidupan manusia purba Indonesia pada masa ini, sejak Pithecanthropus sampai Homo sapiens, bersifat nomaden atau berpindah-pindah mengikuti gerak binatang buruan serta sumber air. Kehidupan menetap (sedenter) belum dikenal.
      Migrasi (perpindahan) hewan buruan itu umumnya dipengaruhi beberapa faktor utama sebagai berikut.
1)  adanya perubahan iklim yang ekstrem, misalnya kemarau panjang yang membuat banyak padang  rumput dan sumber air  menjadi kering, atau musim hujan berkepanjangan yang membuat suhu  lingkungan menjadi sangat dingin;
2)  bencana alam, yang juga ikut membuat manusia bermigrasi;
3)  ancaman dari sesame hewan, yaitu hewan karnivora;
4)  gangguan manusia;
5)  tumbuh-tumbuhan biasanya  lebih mudah tumbuh dan berkembang di daerah-daerah beriklim lebih panas, yangmembuat hewan-hewan pemakan tumbuhan (herbivora) ikut bermigrasi, mengikuti “migrasi” tumbuh-tumbuhan itu. Migrasi hewan-hewan herbivore ini dengan sendirinya membuat hewan-hewan karnivora ikut bermigrasi juga.


B.   Masa Beburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut: Budaya Mesolithik

Corak kehidupan manusia purba pada masa ini tetap sama seperti pada masa sebelumnya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya, selain alat-alat dari batu, pada masa ini mereka juga mampu membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
     Mereka mengenal pembagian kerja: laki-laki berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau memelihara api, dan membimbing anak.
     Hal itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara tidak tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber mata air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.
     Selain bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat tinggal di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan yang terdapat di laut. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan siput dalam jumlah banyak selain tulang-tulang manusia dan alat-alatnya di dalam timbunan kulit kerang (remis) dan siput yang membukit yang disebut dengan kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di laut.
     Selama bertempat tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai mengenal tradisi melukis di dinding-dinding gua atau dinding karang. Sumber inspirasi dari lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba tergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan mereka.
      Selain itu, agar terhindar dari binatang buas, manusia purba memilih untuk membangun rumah di atas pohon. Begitu juga segala aktifitas  yang mereka lakukan di atas pohon. Terutama kegiatan makan yang menyebabkan sisa makanan yang di buang ke bawah lama-lama menjadi bukit fosil yang kemudian juga dapat disebut kjokkenmoddinger.
     Pada masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba menemukan api. Penemuan api tidak terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan diri dengan perkembangan alam dan lingkungan. Secara khusus, api berperan penting dalam kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh, menghalau binnatang buas pada malam hari , serta memasak makanan.
     Di tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal bercocok tanam yang sangat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kondisi kesuburan tanah. Hutan yang dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan dibersihkan (slash and burn). Di sana mereka menanam umbi-umbian seperti keladi.


C.   Masa Bercocok Tanam: Budaya Neolithik

Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring dengan itu, masyarakat memelihara hewan-hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian kecil penduduk yang tinggal di tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.
     Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon dan belukar (slash and burn) sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil pertanian, meskipun sifatnya masih sederhana. Tanaman yang dikembangkan di antaranya keladi, pisang, kelapa, salak, rambutan, sukun, dan duku; sedangkan jenis hewan yang diternakkan di antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
     Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu (bercocok tanam), mereka sudah tinggal menetap (sedenter). Perkampungan terdiri atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau bambu.
     Gotong royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat. Menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah, kegiatan tukar-menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara gotong royong.
     Mereka juga mengenal pembagian kerja antara kaum wanita dengan laki-laki. Misalnya, pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki. Menangkap ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau tempat-tempat yang dangkal di danau-danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan  menangkap ikan di laut lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada anggota masyarakat yang membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang bertugas menghaluskan, dan sebagainya.


D.   Masa Perundagian: Budaya Megalithik dan Budaya Logam
Masa ini disebut masa perundagian yaitu dari kata undagi yang berarti terampil karena pada masa ini muncul golongan undagi atau golongan yang terampil melakukan suatu jenis usaha tertentu, seperti membuat alat-alat dari logam, rumah  kayu, gerabah, perhiasan, dan sebagainya. Munculnya kemampuan membuat alat-alat dari logam tersebut tidak menggantikan  mata pencarian pokok: bercocok tanam.
     Dalam perkembangannya, alat-alat dari logam itu juga dipakai untuk tujuan ritual keagamaan, seiring dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan mereka dalam bentuk animism dan dinamisme.
     Sementara itu, penduduk Nusantara hidup secara menetap di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin.

BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, hidup manusia purba jenis Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti gerak benatang buruan serta sumber air.
     Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut memiliki corak kehidupan sama  dengan masa sebelumnya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya hanya dalam alat-alat dan keterampilan yang mereka miliki. Mereka bertempat tinggal secara tidak tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung.
     Pada masa bercocok tanam manusia purba sudah mengenal kehidupan menetap (sedenter), pembagian kerja, gotong royong, dan pembuatan gerabah sederhana. Penduduk Nusantara hidup secara menetap di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin

B. Saran

Kita patut bersyukur karena telah diberikan kemudahan dalam beraktifitas dan dicukupkan dalam segala kebutuhan oleh Tuhan.  Kita dapat mengambil banyak pelajaran dari kehidupan manusia purba pada masa lampau dan mengambil sisi positif serta mengembangkannya menjadi lebih baik. Sebagai manusia yang lebih maju tentu saja kita harus memiliki sikap dan sifat yang lebih baik daripada manusia pada zaman purba, seperti lebih suka dalam bergotong royong dan bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tidak bersifat individualis atau egois.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar