Kata
Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat- Nya
kami dapat menyelesaikan tugas Sejarah “Pola Hunian Masyarakat Praaksara” ini
dengan baik.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi
tugas yang telah diberikan dan untuk menambah wawasan bagi para pembacanya.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada:
1) Ibu
Windriati, S. Pd. Selaku guru Sejarah yang telah membimbing kami dalam
mengerjakan tugas ini.
2) Orangtua
yang telah memberi semangat dan bantuan kepada kami dalam mengerjakan tugas
ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk
lebih baik lagi dalam tugas kedepannya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkenan membantu kami dalam menyelesaikan tugas
ini.
KATA PENGANTAR
DAFTRAR
ISI
BAB
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Latar Belakang
BAB
2 ISI
Pola Hunian Masyarakat Praaksara
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan
Makanan Tingkat Sederhana: Budaya Paleolithik
2.
Masa
Beburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut: Budaya Mesolithik
3.
Masa
Bercocok Tanam: Budaya Neolithik
4.
Masa
Perundagian: Budaya Megalithik dan Budaya Logam
BAB
3 PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB
1
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
(a) Kedekatan dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
(b) Kehidupan di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. KebudayaanAbris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur ,modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.
BAB
2
ISI
POLA
HUNIAN MASYARAKAT PRAAKSARA
A.
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Tingkat Sederhana: Budaya Paleolithik
Sebagaimana diungkapkan The Cambridge Encyclopedia of Hunter Gatherers: berburu dan
mengumpulkan makanan (meramu) merupakan bentuk adaptasi pertama manusia yang
paling sukses, serta mencakup 90 persen dari sejarah manusia. Sampai 12.000
tahun yang lalu, semua manusia hidup dengan cara ini.
Makanan
manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan berburu dan
mengumpulkan makanan. Itu karena pada masa ini, hewan dan tumbuh-tumbuhan telah
hidup merata di bumi. Kala Pleistosen sampai Holosen merupakan masa puncak
perkembangan hewan menyusu (mamalia). Maka, berburu hewan menjadi aktivitas
pokok untuk bertahan hidup. Hewan-hewan yang diburu antara lain: rusa, kuda,
babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan sebagainya.
Karena berburu menjadi sarana utama
untuk bertahan hidup, kehidupan manusia purba Indonesia pada masa ini, sejak
Pithecanthropus sampai Homo sapiens,
bersifat nomaden atau berpindah-pindah mengikuti gerak binatang buruan serta
sumber air. Kehidupan menetap (sedenter) belum dikenal.
Migrasi (perpindahan) hewan buruan
itu umumnya dipengaruhi beberapa faktor utama sebagai berikut.
1) adanya
perubahan iklim yang ekstrem, misalnya kemarau panjang yang membuat banyak
padang rumput dan sumber air menjadi
kering, atau musim hujan berkepanjangan yang membuat suhu lingkungan menjadi
sangat dingin;
2) bencana
alam, yang juga ikut membuat manusia bermigrasi;
3) ancaman
dari sesame hewan, yaitu hewan karnivora;
4) gangguan
manusia;
5) tumbuh-tumbuhan
biasanya lebih mudah tumbuh dan berkembang
di daerah-daerah beriklim lebih panas, yangmembuat hewan-hewan pemakan tumbuhan
(herbivora) ikut bermigrasi, mengikuti “migrasi” tumbuh-tumbuhan itu. Migrasi
hewan-hewan herbivore ini dengan sendirinya membuat hewan-hewan karnivora ikut
bermigrasi juga.
B.
Masa Beburu dan Mengumpulkan Makanan
Tingkat Lanjut: Budaya Mesolithik
Corak kehidupan manusia purba pada masa ini tetap
sama seperti pada masa sebelumnya, yaitu berburu dan mengumpulkan makanan dari
alam. Bedanya, selain alat-alat dari batu, pada masa ini mereka juga mampu
membuat alat-alat dari tulang dan kulit kerang.
Mereka
mengenal pembagian kerja: laki-laki berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan
makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan kecil, memasak atau memelihara
api, dan membimbing anak.
Hal
itu jugalah yang membuat mereka mengenal kebiasaan bertempat tinggal secara
tidak tetap (semi-sedenter), terutama di gua-gua payung (abris sous roche). Mereka memilih gua-gua yang tidak jauh dari sumber
mata air atau sungai yang terdapat sumber makanan seperti ikan, kerang, dan
siput.
Selain
bertempat tinggal di gua-gua, ada juga kelompok manusia lain yang bertempat
tinggal di tepi pantai, yang hidupnya lebih tergantung pada bahan-bahan makanan
yang terdapat di laut. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kulit kerang dan
siput dalam jumlah banyak selain tulang-tulang manusia dan alat-alatnya di
dalam timbunan kulit kerang (remis) dan siput yang membukit yang disebut dengan
kjokkenmoddinger. Kenyataan ini juga
menunjukkan bahwa mereka telah mengenal pencarian dan pengumpulan makanan di
laut.
Selama bertempat
tinggal di gua-gua, selain mengerjakan alat-alat, mereka juga mulai mengenal
tradisi melukis di dinding-dinding gua atau
dinding karang. Sumber inspirasi dari lukisan ini adalah cara hidup mereka yang
serba tergantung pada alam. Lukisan-lukisan itu menggambarkan suatu pengalaman,
perjuangan, harapan hidup, dan bahkan kepercayaan mereka.
Selain
itu, agar terhindar dari binatang buas, manusia purba memilih untuk membangun
rumah di atas pohon. Begitu juga segala aktifitas yang mereka lakukan di atas pohon. Terutama
kegiatan makan yang menyebabkan sisa makanan yang di buang ke bawah lama-lama
menjadi bukit fosil yang kemudian juga dapat disebut kjokkenmoddinger.
Pada
masa ini pula, untuk pertama kalinya manusia purba menemukan api. Penemuan api
tidak terlepas dari perkembangan otak mereka sebagai akibat dari tuntutan
menyesuaikan diri dengan perkembangan alam dan lingkungan. Secara khusus, api
berperan penting dalam kehidupan gua, seperti menghangatkan tubuh, menghalau
binnatang buas pada malam hari , serta memasak makanan.
Di
tahap akhir masa ini, mereka telah mengenal bercocok tanam yang sangat
sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kondisi kesuburan
tanah. Hutan yang dijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu dan
dibersihkan (slash and burn). Di sana
mereka menanam umbi-umbian seperti keladi.
C.
Masa Bercocok Tanam: Budaya Neolithik
Cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan
perlahan-lahan ditinggalkan. Seiring dengan itu, masyarakat memelihara
hewan-hewan tertentu (pastoralisme). Sebagian kecil penduduk yang tinggal di
tepi pantai memproduksi garam dan mencari ikan.
Kegiatan
bercocok tanam dilakukan dengan menebang dan membakar pohon-pohon dan belukar (slash and burn) sehingga terciptalah
ladang-ladang yang memberikan hasil-hasil pertanian, meskipun sifatnya masih
sederhana. Tanaman yang dikembangkan di antaranya keladi, pisang, kelapa,
salak, rambutan, sukun, dan duku; sedangkan jenis hewan yang diternakkan di
antaranya ayam, kerbau, anjing, dan babi.
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru itu
(bercocok tanam), mereka sudah tinggal menetap (sedenter). Perkampungan terdiri
atas tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh
beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat dari kayu atau bambu.
Gotong
royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat. Menebang
hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah,
kegiatan tukar-menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara gotong
royong.
Mereka
juga mengenal pembagian kerja antara kaum wanita dengan laki-laki. Misalnya,
pekerjaan berburu yang menghabiskan tenaga banyak dilakukan oleh para lelaki.
Menangkap ikan yang dekat dengan tempat tinggal (sungai, rawa, atau
tempat-tempat yang dangkal di danau-danau) dapat dilakukan oleh kaum wanita dan
anak-anak, sedangkan menangkap ikan di
laut lepas pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Selain itu, ada anggota
masyarakat yang membuat beliung kasar di tempat yang disebut atelier, ada yang bertugas menghaluskan,
dan sebagainya.
D.
Masa Perundagian: Budaya Megalithik dan
Budaya Logam
Masa ini disebut masa perundagian yaitu dari
kata undagi yang berarti terampil
karena pada masa ini muncul golongan undagi atau golongan yang terampil
melakukan suatu jenis usaha tertentu, seperti membuat alat-alat dari logam,
rumah kayu, gerabah, perhiasan, dan
sebagainya. Munculnya kemampuan membuat alat-alat dari logam tersebut tidak
menggantikan mata pencarian pokok:
bercocok tanam.
Dalam
perkembangannya, alat-alat dari logam itu juga dipakai untuk tujuan ritual
keagamaan, seiring dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan mereka dalam
bentuk animism dan dinamisme.
Sementara
itu, penduduk Nusantara hidup secara menetap di desa-desa di
daerah pegunungan, dataran rendah, dan di tepi pantai dalam tata kehidupan yang
makin teratur dan terpimpin.
BAB
3
PENUTUP
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana, hidup manusia purba jenis Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo
yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain mengikuti gerak benatang buruan serta sumber air.
Masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut memiliki corak kehidupan
sama dengan masa sebelumnya, yaitu
berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Bedanya hanya dalam alat-alat dan
keterampilan yang mereka miliki. Mereka bertempat tinggal secara tidak tetap
(semi-sedenter), terutama di gua-gua payung.
Pada masa bercocok tanam manusia
purba sudah mengenal kehidupan menetap (sedenter), pembagian kerja, gotong
royong, dan pembuatan gerabah sederhana. Penduduk Nusantara hidup secara menetap
di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah, dan di tepi pantai
dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin
B. Saran
Kita patut bersyukur karena telah diberikan
kemudahan dalam beraktifitas dan dicukupkan dalam segala kebutuhan oleh
Tuhan. Kita dapat mengambil banyak pelajaran
dari kehidupan manusia purba pada masa lampau dan mengambil sisi positif serta
mengembangkannya menjadi lebih baik. Sebagai manusia yang lebih maju tentu saja
kita harus memiliki sikap dan sifat yang lebih baik daripada manusia pada zaman
purba, seperti lebih suka dalam bergotong royong dan bekerja sama dalam
menyelesaikan suatu permasalahan, tidak bersifat individualis atau egois.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar